Download

Sabtu, 03 April 2010

islam sebuah ideology?

Sangat tidak bijak sebenarnya apabila kita menyandingkan islam sama posisinya dengan ideologi-ideologi dunia. Karena islam itu sendiri lahir bukan karena sebuah kontemplasi dari orang atau beberapa orang. Berbeda dengan ideology yang secara bahasa dan istilah merupakan sebuah wacana terkait pandangan hidup yang berasal dari sebuah kontemplasi manusia.

Islam adalah sebuah agama yang diturunkan oleh Tuhan yang maha esa yang dimana posisinya sebagai tata cara hidup seorang manusia di dunia. Sifatnya mengikat dan wajib ditaati. Ajarannya pun tak bisa di ganggu gugat apalagi direvisi. Kecuali beberapa aspek yang memang tidak terlalu dijabarkan di dalam kitab suci. Berbeda dengan ideology yang merupakan sebuah pandangan hidup yang berasal dari pemikiran manusia. Sehingga tentunya sangat tidak mengikat dan dapat direvisi.

ajaran ideology pun sebenarnya tidak murni sebagai sebuah pandangan yang ideal bagi hidup, ini dikarenakan kebanyakan ideology sarat akan kepentingan dan muatan politik. Seperti marxisme yang arah perjuangannya hanya mengarah pada kepentingan kelas pekerja. Dan ada pula kapitalisme yang hanya berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Adapula yang menamakan dirinya sebagai fasisme, sebuah gerakan yang sangat mencintai tanah airnya sehingga menganggap bangsa lainnya adalah penggangu. Dan banyak ideology lainnya yang bermuatan politis.

Islam tidak sama dengan ideology, islam adalah ajaran yang tidak sama sekali memiliki muatan-muatan politik di dalam ajarannya. Tidak ada istilahnya islam hanya berpihak pada satu kelas saja dalam sistem ketatamasyarakatan. Islam tidak melarang ummatnya untuk menjadi seorang yang kaya raya. Akan tetapi islam mengajarkan pada ummatnya untuk tidak kikir. Sehingga istilah “kapitalis” sangat tidak cocok bila di samakan dengan seorang muslim yang kaya. Islam di dalam ajarannya juga berpihak pada kaum buruh. Karena seorang pekerja harus di upah sesuai dengan pekerjaannya. Sehingga yang ada adalah asas keadilan bukan eksploitasi. Sehingga perjuangan kelas pekerja “marxisme” sebenarnya tidak perlu ada apabila semua ummat manusia menegakkan kedilan. Islam itu adil untuk semua individu di dunia ini, sehingga islam bukanlah sebuah ajaran yang harus disamakan dengan ideology.

Selain bermuatan politik, ideology merupakan suatu pandangan yang tidak menyeluruh dan terkesan hanya sebuah pandangan terkait satu aspek saja. Contohnya seperti Marxisme dan kapitalisme yang lebih mengarah kepada pandangan akan sistem ekonomi. Sehingga tidak terlalu dijabarkan akan sistem norma-norma moral dalam bermasyarakat. Moral masyarakat merupakan sebuah produk yang diatur oleh UU, oleh sebuah kesepakatan politik para elit, para ideolog. Sehingga nilai moral, sifatnya sangat relative.

Berbeda dengan islam. Ajarannya sempurna disemua aspek. Dari urusan ke kamar mandi sampai keurusan-urusan Negara, islam mengaturnya. Bahkan ajaran hidup yang dijabarkan islam sangat tidak normative, karena semuanya spesifik. Ajarannya sangat jelas dan tidak dapat diganggu gugat, karena ajaran islam bukanlah produk-produk hukum hasil negosiasi para elit politik. Sehingga nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat sifatnya tidak relative. Benar itu benar, dan salah itu salah. Produk buatan Tuhan yang maha esa inilah yang sebenarnya sangat cocok untuk diterapkan oleh semua individu manusia.

Sehingga masihkah islam harus disamakan dengan ideologi? Sangat rendah sekali bila produk buatan tuhan kita sandingkan dengan buah pikiran manusia. Sebenarnya islam dikatakan sebagai ideology pun disebabkan islam direduksi oleh beberapa pihak dengan ideology tertentu. Seperti islam kiri, islam progresiv, atau islam liberal dan sebagainya. Pereduksian-pereduksian macam inilah yang membuat islam harus disamakan dengan ideology. Sehingga sudah saatnya kita menempatkan islam sebagai agama bukan ideology.

Habis ini sepertinya perlu nulis lagi terkait “Islam Reduksi” he…he…he…

“berkobar tinggi panaskan bumi, kobarkan ladang dan rumah kami, darah syuhada mengalir suburkan negeri, tiada kata lagi…kita menulis kembali!!! ”

Bumi Arema, 3 April 2010…

Selengkapnya...

kesadaran sosial

“segala kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu sendiri tidak memerlukan hal itu, karena dia lah yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku” (Paul Natrop)

Kasus 1:
“kawan, sebenarnya apasih yang sedang kita perjuangkan?” mendengar pertanyaan dari kawanku ini membuat diriku kaget. Padahal sosok orang yang bertanya padaku ini adalah salah seorang pimpinan mahasiswa di kampus ku. Seseorang yang mungkin dikatakan sebagai mahasiswa ideolog oleh mahasiswa lainnya. Tapi entah kenapa beliau bertanya akan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu di tanyakan.

Kasus 2:
Di tengah pusaran mahasiswa yang demonstrasi terkait century, ada seorang adik tingkatku yang bertanya. “mas, sebenarnya ada masalah apasih dengan century? Kenapa kok kita harus demonstrasi?” aku diam mendengar pertanyaannya. “turunkan boediono dan sri mulyani!!!”, “turunkan!!!” teriak adik tingkatku tadi menyambut seruan dari salah satu agitator aksi. Aku heran sambil memandang adik tingkatku tadi dan ke semua orang yang ada di pusaran demonstrasi. “apakah mereka semua tau dengan apa yang mereka tuntut?” tanyaku dalam hati.

Pragmatisme dalam gerakan mahasiswa sepertinya sekarang sedang jadi trend dimana-mana. Gerakan mahasiwa saat ini sepertinya tidak lebih dari sekedar gerakan pencari eksistensi bukan gerakan substansi. Titik keberhasilan dari gerakan mahasiswa tolak ukurnya hanya pada kuantitas turun ke jalan bukan pada substansi yang diserukan. Sehingga berbagai aksi yang dilakukan oleh mahasiswa saat ini sebenarnya tidak terlalu membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat.

Organisasi-organisasi pergerakan mahasiswa pun banyak yang mengalami perubahan fungsi. Dari yang seharusnya menjadi sekolah bagi para penuntut ilmu untuk mendapatkan pendidikan politik malah menjadi lembaga eksploitasi mahasiswa. Dikatakan mengekspolitasi dikarenakan kualitas dari para aktivis yang dikader sangat mengkhawatirkan. Banyak dari kadernya dikader hanya untuk menjadi teknisi-teknisi bukan sebagai pemikir-pemikir. Betul kalau dikatakan pemikir juga teknisi dan teknisi juga harus jadi pemikir, tapi beda permasalahnnya kalau seandainya teknisi yang dicetak tidak memiliki kapasitas sebagai pemikir. Kalau menurut (Habermas) “proses-proses sosiopolitik jangan selalu beranyamkan ‘praksis kerja’ tapi juga ‘praksis komunikasi’.

Kader-kader tereksploitasi sebenarnya jumlahnya lebih banyak ketimbang kader yang berani untuk berpikir sendiri. Ini dibuktikan dengan sedikitnya kader yang paham akan permasalah negeri, tapi mereka ikut dalam aksi-aksi perlawanan. Sangat disayangkan sebenarnya dengan aksi-aksi kosong semacam ini (aksi demi eksistensi). Sehingga wajarlah apabila suara yang keluar dari para demonstran tidak akan sampai pada telinga rakyat yang terdzolimi dan mereka yang mendzolimi rakyat!

Harus ada gerakan reformasi sebenarnya di dalam tubuh organisasi-organisasi kemahasiswaan. Baik yang intra maupun ekstra kampus, harus mampu menjembatani publik mahasiswa untuk dapat mengakses isu dengan sangat luas. Kalau seandainya malah kader sendiri yang tidak tertarik, organisasi pergerakan lah yang seharusnya lebih dapat aktif untuk memberikan berbagai stimulus-stimulus pada kader, minimal dengan transfer isu via media (facebook, Koran kampus, dll). Jangan malah menjadikan media sebagai publikasi terkait eksistensi dari organisasi. Hal-hal tersebut sangat tidak substansi. Karena dikhawatirkan hanya akan menambah rasa euphoria dari kader akan history, sehingga terlewatlah rasa kritis.

Sudah seharusnya organisasi kemahasiswaan menjadi sekolah pemikir pekerja, atau sekolahnya “pekerja kreatif” menurut marx, atau qiyadah wa jundyah menurut tarbiyah. Diharapkan nantinya semua mahasiswa mampu berpikir bebas, merdeka dan kritis akan persoalan-persoalan bangsa. Sehingga ruh demonstrasi-demonstrasi nantinya kedepan bukanlah karena instruksi-instruksi dari pimpinan, tetapi lebih karena panggilan hati…

“bukan persoalan seberapa kuat benda diyakini. Kekuatan keyakinan bukan pada kriteria kebenaran. Tetapi apa itu kebenaran? Mungkin sebentuk keyakinan yang telah menjadi kondisi hidup?” (Nietzsche)

Cuma pengen nulis…Bumi Arema, 31 Maret 2010.
Selengkapnya...