Download

Jumat, 27 April 2012

SEKULARISME “PLUS” DAN POST-ISLAMIS


Istilah sekularisme “plus” yang jadi judul tulisan diatas sebenarnya penulis ambil dari ide nyeleneh seorang Ulil Abshar Abdallah dalam makalahnya yang berjudul “Revolusi Post-Islamis di Dunia Islam”. Istilah yang nyeleneh ini sebenarnya merupakan gambaran mengenai habitat baru yang menjelaskan hubungan antara Islam dan negara yang cukup aneh belakangan ini, terutama di negara-negara muslim yang berfaham sekuler.

Dikatakan aneh karena hubungan antara gerakan Islamis dan negara yang dulu sangat kaku dan kesannya saling bertentangan, saat ini malah mengalami hubungan yang sangat mesra. Bahkan hubungan yang terjadi diantara keduanya memugkinkan terjadinya proses simbiosis yang saling menguntungkan. Walau kenyataan dilapangan tidak dipungkiri masih ada rasa saling curiga.

Mempertentangkan Demokrasi dengan Sekularisme 

Asal muasal istilah sekularisme “plus” sebenarnya dilatarbelakangi dari hadirnya jembatan yang menghubungkan antara gerakan Islamis yang menurut Fealy dalam Muhtadi (2012), sebagai gerakan yang sangat gigih memperjuangkan formalisasi syariat Islam secara kaffah melalui instrument negara, dengan rezim pemerintahan penganut konsep negara sekuler yang ber-moto-kan “agama untuk Tuhan sedangkan negara untuk semua” (‘Imarah, 1998).

Jembatan  penghubung atas kekakuan yang selama ini menjadi jurang antara konsep Negara agama dan Negara bangsa salah satunya adalah demokrasi. walau sebenarnya masih ada kelompok-kelompok Islamis yang menolak demokrasi, namun jumlahnya sangat minim. Assyaukanie (2011), menyatakan bahwa hanya kelompok-kelompok kecil radikal yang belum bisa menerima demokrasi. 

Demokasi kini dinilai sebagai alat yang sangat baik bagi kalangan Islamis. karena menurut Dahl dalam Chrisnandi (2010), demokrasi dapat menjamin hak-hak fundamental warga-negaranya yang tidak dapat diberikan oleh rezim non-demokratis yang otoriter. Karena memang susahnya proses Islamisasi selama ini dikarenakan sikap keras pemerintah akibat ngototnya kaum islamis yang ingin memformalisasikan Islam dalam institusi Negara.   

Bahkan dengan makin “ke-tengah-nya” gerakan Islam akibat menerima demokrasi. lambat laun gerakan Islamis juga mulai menikmati buah dari demokrasi. Sehingga muncul rasa nyaman untuk terus hidup dalam system ini. Karena berkat demokrasi, kelompok-kelompok Islam dapat menyeruak ke ruang-ruang public dan memunculkan kebangkitan agama (Assyaukanie, 2011).

Selain itu, keterbukaan inilah yang akhirnya menyebabkan institusi Negara juga memperlunak tekanan terhadap gerakan Islam. Karena memang secara perlahan kaum Islamis juga menentukan kehidupan bernegara karena ikut dalam pemerintahan. Dan dititk inilah varian baru dalam sekulerisme lahir. Yang diistilahkan oleh Ulil Abshar (2011), sebagai sekularisme “plus”. Yakni sekularisme dalam pengertian negara yang netral terhadap agama.

Meminjam Istilah Stephan dalam Abshar (2011), sekularisme “plus” dapat diterjemahkan dalam bentuk twin toleration. Yakni, negara menoleransi agama dan bersikap netral terhadapnya. sebaliknya agama tak memaksakan sebuah “ideologi komprehensif” (istilah dari John Rawls) tertentu kepada negara. Tak ada permusuhan antara kedua belah pihak di sini; sebaliknya terjadi kerjasama atau kesepakatan antara keduanya untuk saling membantu.

Kelahiran Post-Islamis dari rahim Sekularisme “plus”

Penulis berkesimpulan bahwa sekularisme “plus” sebenarnya merupakan sebuah habitat yang paling baik bagi gerakan Islam garis tengah (Moderat). Karena demokrasi yang dianut oleh pemerintah menguntungkan aktifitas dakwah kelompok ini, baik itu keuntungan aktifitas politikya maupun dakwah culturalnya. Sehingga mengakibatkan kelompok ini mau tidak mau harus bisa lebih dalam lagi terjun kedalam demokrasi untuk meraih kekuasaan.

Namun seringkali usaha Islamisasi pemerintahan yang dilakukan oleh kelompok Islam moderat sangat sulit. Karena jika kelompok Islam Moderat ingin berdampak besar dalam mengatur negara. Mereka mau tidak mau harus mengikuti budaya demokrasi dengan mengikuti elektoral. Dan dititik inilah dilema kelompok Islamis mulai nampak. Memilih untuk tetap pada pola-pola otentik “Islamis” atau cenderung pragmatis (Munandar, 2011). Pilihan-pilihan tersebut tentunya akan berimbas terhadap jumlah konstituen dan political opportunity structure dari kelompok Islamis. 

Prof. Greg Fealy dalam pengantarnya pada buku “Dilema PKS: Suara dan Syariah” karya Burhanuddin Muhtadi (2012), menjelaskan bahwa kelompok Islamis pada akhirnya mengabaikan agenda dan cita-cita ideologis mereka dalam memperjuangkan tegaknya Negara Islam. dan pada perkembangan berikutnya, mereka lebih menekankan nilai-nilai substantive Islam dan mengedepankan agenda yang universal terkait dengan isu-isu tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dari korupsi serta pertumbuhan ekonomi.

Dengan makin melunaknya kelompok Islamis terhadap konsep Negara bangsa. Menandai bahwa telah terjadinya loncatan ideology, dari semula yang Islamisme menuju Post-Islamisme. Loncatan ini sekali lagi merupakan bentuk dari adaptasi dengan lingkungan sosial-politik yang dipilih oleh gerakan Islamis untuk bisa mendominasi ruang-ruang public (Assyaukanie, 2011). Atau dengan kata lain, pilihan perjuangan kelompok post-Islam lebih kepada “pencitraan” kader dakwah yang professional dan sukses dalam mengelola Negara. Sehingga istilah “Islam adalah solusi” tetap dapat terealisasi walau hanya secara substantive, Seperti kerja AKP di Turky yang sangat dicintai masyarakat sekuler.

Post-Islamis: Antara Sekularisme Klasik dan Teokrasi 

Sebelum berbicara lebih jauh mengenai post-Islamisme , alangkah baiknya jika berbicara mengenai habitat asli dari post-Islamis. kelompok post-Islamis biasanya hidup di lingkungan kental nuansa sekularisme. Namun sesungguhnya habitat asli dari post-Islamisme adalah Sekularisme “yang tertundukkan” atau “sekularisme plus”. Sehingga salah jika mengatakan gerakan Post-Islam adalah budak Sekularisme.

Meurut Ulil Abshar (2011), Post-Islamisme sama sekali tidak sekular, bahkan tetap menunjukkan sentimen negatif kepada setiap bentuk ekspresi sekularisme, tetapi dia juga menolak teokrasi dan penerapan platform ideologis-keagamaan, seperti hukum syariah, secara kaku dalam kenyataan politik sehari-hari. 

Yang perlu digaris bawahi, gerakan post-islami tidak dalam artian menolak hukum syariah, yang ditolak oleh mereka adalah hukum syariah yang kaku dan tidak sesuai dengan realitas politik. Karena bagaimanapun gerakan post-Islami masih sangat berkaitan dengan lingkungan sekularisme. Lingkungan yang dimana hukum merupakan nota kesepakatan bersama yang diproduk melalui konstitusi (Matta, 2002). Sehingga jika terjadi pemaksaan akan nilai-nilai Islam kedalam Negara, dikhawatirkan akan menyulut kembali pertikaian lama yang “kontra produktif” tentang konsep Negara.

Sekularisme di ujung tanduk

Mungkin sampai saat ini masih banyak yang bertanya, apa keuntungan dari gerakan post-Islamis terhadap perkembangan dunia Islam? Mengingat post-Islam seakan-akan terkurung dalam bingkai sekularisme. Bahkan kesannya menafikan hukum agama dalam mengatur urusan pemerintahan. Bagi penulis pertanyaan kritis semacam ini memang sangat perlu diajukan untuk menguji kelayakan gerakan post-Islam.

Sangat tidak tepat sebenarnya jika mengatakan bahwa gerakan post-Islam disandera oleh sekularisme. Karena kenyataan yang terjadi, sekularisme lah yang tersandera oleh post-Islam. Seperti menurut Munandar (2011), gerakan post-Islam memang seringkali mengambil langkah-langkah pragmatis, namun tanpa keluar dari bingkai idealismenya. Sebagai contoh adalah gerakan post-Islam di turki yang berhasil menyandera pengertian sekularisme koersif yang dikawal oleh militer, menjadi sekularisme yang aman terhadap agama (Assyaukanie, 2011). Sehingga AKP sampai saat ini tidak bisa diutak-atik oleh para kemalisme. 

Dengan demikian, sangat Nampak jika sekularisme klasik sudah berada diujung tanduk dan siap digantikan oleh sekularisme “plus” yang masih lebih ramah terhadap gerakan Islamisme. Selain menyingkirkan makna dari sekularisme klasik, gerakan post-Islam yang memanfaatkan demokrasi sebenarnya sedang membangun peradaban Islam yang kokoh. Detailnya seperti apa?

Menurut Muhtadi (2011), stabilitas demokrasi ditentukan oleh dua unsur yang sekilas tampak kontradiktif. Pertama, unsur ‘aktif’ yang merekomendasikan adanya partisipasi politik warga dan keterlibatan politis (political engagement). Kedua, unsur ‘pasif’ yang meniscayakan adanya budaya politik yang toleran secara politik dan sikap percaya antarwarga (interpersonal trust).

Kombinasi apik dua unsur aktivisme dan pasifisme demokrasi ini, menurut Almond dan Verba (1963), akan membentuk kultur politik yang moderat yang akan memberikan garansi bagi terkonsolidasinya sebuah rezim demokrasi. Teori inilah yang menjadikan AKP di Turki sangat kuat, karena rezim demokrasi yang dipegang oleh kaum Reformis Islam telah mengalahkan kedigdayaan kemalisme.

Dan pertanyaan berikutnya, apakah gerakan post-Islam akan berubah kembali menjadi Islamisme ketika masyarakat memutuskan untuk memberikan dukungan penuh dalam electoral terhadap gerakan Islam? Wallahu’alam

Daftar Pustaka

Abshar, Ulil. 2011. Revolusi Post-Islamis di Dunia Islam. Makalah Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta.

Assyaukanie, Luthfi. 2011. Pembaruan Agama dan Sekularisasi dalam Islam. Makalah Komunitas Salihara, Jakarta: 9 hal. Tidak dipublikasikan

Chrisnandi, Yuddy. 2010. Strategi kebangsaan Satrio Piningit 2014. Ind Hill Co. Jakarta. 238 hal

‘Imarah, Muhammad. 1998. Perang Terminologi Islam versus Barat. Robbani press. Jakarta. 302 hal

Matta, Anis. 2002. Menikmati Demokrasi. Pustaka Saksi. Jakarta. 187 hal

Muhtadi, Burhanuddin. 2011. Demokrasi Zonder Toleransi Potret Islam Pasca Orde Baru. Makalah Komunitas Salihara, Jakarta: 13 hal. Tidak dipublikasikan

Muhtadi, burhanuddin. 2012. Dilema PKS Suara dan Syariah. KPG. Jakarta. 307 hal

Munandar, Arif. 2011. Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004. Disertasi Pascasarjana UI, Depok: 45 hal. Tidak dipublikasikan
Selengkapnya...