Istilah
sekularisme “plus” yang jadi judul tulisan diatas sebenarnya penulis ambil dari
ide nyeleneh seorang Ulil Abshar Abdallah dalam makalahnya yang berjudul
“Revolusi Post-Islamis di Dunia Islam”. Istilah yang nyeleneh ini
sebenarnya merupakan gambaran mengenai habitat baru yang menjelaskan hubungan
antara Islam dan negara yang cukup aneh belakangan ini, terutama di
negara-negara muslim yang berfaham sekuler.
Dikatakan aneh
karena hubungan antara gerakan Islamis dan negara yang dulu sangat kaku dan
kesannya saling bertentangan, saat ini malah mengalami hubungan yang sangat
mesra. Bahkan hubungan yang terjadi diantara keduanya memugkinkan terjadinya
proses simbiosis yang saling menguntungkan. Walau kenyataan dilapangan tidak
dipungkiri masih ada rasa saling curiga.
Mempertentangkan
Demokrasi dengan Sekularisme
Asal muasal
istilah sekularisme “plus” sebenarnya dilatarbelakangi dari hadirnya jembatan
yang menghubungkan antara gerakan Islamis yang menurut Fealy dalam
Muhtadi (2012), sebagai gerakan yang sangat gigih memperjuangkan formalisasi
syariat Islam secara kaffah melalui instrument negara, dengan rezim
pemerintahan penganut konsep negara sekuler yang ber-moto-kan “agama untuk
Tuhan sedangkan negara untuk semua” (‘Imarah, 1998).
Jembatan penghubung atas kekakuan yang selama ini
menjadi jurang antara konsep Negara agama dan Negara bangsa salah satunya
adalah demokrasi. walau sebenarnya masih ada kelompok-kelompok Islamis yang
menolak demokrasi, namun jumlahnya sangat minim. Assyaukanie (2011), menyatakan
bahwa hanya kelompok-kelompok kecil radikal yang belum bisa menerima demokrasi.
Demokasi kini dinilai sebagai alat yang sangat baik bagi kalangan Islamis.
karena menurut Dahl dalam Chrisnandi (2010), demokrasi dapat menjamin
hak-hak fundamental warga-negaranya yang tidak dapat diberikan oleh rezim
non-demokratis yang otoriter. Karena memang susahnya proses Islamisasi selama
ini dikarenakan sikap keras pemerintah akibat ngototnya kaum islamis yang ingin
memformalisasikan Islam dalam institusi Negara.
Bahkan dengan
makin “ke-tengah-nya” gerakan Islam akibat menerima demokrasi. lambat laun
gerakan Islamis juga mulai menikmati buah dari demokrasi. Sehingga muncul rasa
nyaman untuk terus hidup dalam system ini. Karena berkat demokrasi,
kelompok-kelompok Islam dapat menyeruak ke ruang-ruang public dan memunculkan
kebangkitan agama (Assyaukanie, 2011).
Selain itu,
keterbukaan inilah yang akhirnya menyebabkan institusi Negara juga memperlunak
tekanan terhadap gerakan Islam. Karena memang secara perlahan kaum Islamis juga
menentukan kehidupan bernegara karena ikut dalam pemerintahan. Dan dititk
inilah varian baru dalam sekulerisme lahir. Yang diistilahkan oleh Ulil Abshar
(2011), sebagai sekularisme “plus”. Yakni sekularisme dalam pengertian negara
yang netral terhadap agama.
Meminjam Istilah
Stephan dalam Abshar (2011), sekularisme “plus” dapat diterjemahkan
dalam bentuk twin toleration. Yakni, negara menoleransi agama dan
bersikap netral terhadapnya. sebaliknya agama tak memaksakan sebuah “ideologi
komprehensif” (istilah dari John Rawls) tertentu kepada negara. Tak ada
permusuhan antara kedua belah pihak di sini; sebaliknya terjadi kerjasama atau
kesepakatan antara keduanya untuk saling membantu.
Kelahiran Post-Islamis dari rahim Sekularisme
“plus”
Penulis berkesimpulan bahwa sekularisme “plus” sebenarnya merupakan sebuah
habitat yang paling baik bagi gerakan Islam garis tengah (Moderat). Karena
demokrasi yang dianut oleh pemerintah menguntungkan aktifitas dakwah kelompok
ini, baik itu keuntungan aktifitas politikya maupun dakwah culturalnya.
Sehingga mengakibatkan kelompok ini mau tidak mau harus bisa lebih dalam lagi
terjun kedalam demokrasi untuk meraih kekuasaan.
Namun seringkali usaha Islamisasi pemerintahan yang dilakukan oleh kelompok
Islam moderat sangat sulit. Karena
jika kelompok Islam Moderat ingin berdampak besar dalam mengatur negara. Mereka
mau tidak mau harus mengikuti budaya demokrasi dengan mengikuti elektoral. Dan
dititik inilah dilema kelompok Islamis mulai nampak. Memilih untuk tetap pada
pola-pola otentik “Islamis” atau cenderung pragmatis (Munandar, 2011).
Pilihan-pilihan tersebut tentunya akan berimbas terhadap jumlah konstituen dan political
opportunity structure dari kelompok Islamis.
Prof. Greg Fealy dalam pengantarnya pada buku “Dilema PKS: Suara dan
Syariah” karya Burhanuddin Muhtadi (2012), menjelaskan bahwa kelompok Islamis
pada akhirnya mengabaikan agenda dan cita-cita ideologis mereka dalam
memperjuangkan tegaknya Negara Islam. dan pada perkembangan berikutnya, mereka
lebih menekankan nilai-nilai substantive Islam dan mengedepankan agenda yang
universal terkait dengan isu-isu tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih
dari korupsi serta pertumbuhan ekonomi.
Dengan makin melunaknya kelompok Islamis terhadap konsep Negara bangsa.
Menandai bahwa telah terjadinya loncatan ideology, dari semula yang Islamisme
menuju Post-Islamisme. Loncatan ini sekali lagi merupakan bentuk dari adaptasi
dengan lingkungan sosial-politik yang dipilih oleh gerakan Islamis untuk bisa
mendominasi ruang-ruang public (Assyaukanie, 2011). Atau dengan kata lain,
pilihan perjuangan kelompok post-Islam lebih kepada “pencitraan” kader dakwah
yang professional dan sukses dalam mengelola Negara. Sehingga istilah “Islam
adalah solusi” tetap dapat terealisasi walau hanya secara substantive, Seperti
kerja AKP di Turky yang sangat dicintai masyarakat sekuler.
Post-Islamis: Antara Sekularisme Klasik dan
Teokrasi
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai post-Islamisme , alangkah baiknya
jika berbicara mengenai habitat asli dari post-Islamis. kelompok post-Islamis
biasanya hidup di lingkungan kental nuansa sekularisme. Namun sesungguhnya
habitat asli dari post-Islamisme adalah Sekularisme “yang tertundukkan” atau
“sekularisme plus”. Sehingga salah jika mengatakan gerakan Post-Islam adalah
budak Sekularisme.
Meurut Ulil Abshar (2011), Post-Islamisme sama sekali tidak sekular, bahkan
tetap menunjukkan sentimen negatif kepada setiap bentuk ekspresi sekularisme,
tetapi dia juga menolak teokrasi dan penerapan platform ideologis-keagamaan,
seperti hukum syariah, secara kaku dalam kenyataan politik sehari-hari.
Yang perlu digaris bawahi, gerakan post-islami tidak dalam artian menolak
hukum syariah, yang ditolak oleh mereka adalah hukum syariah yang kaku dan
tidak sesuai dengan realitas politik. Karena bagaimanapun gerakan post-Islami
masih sangat berkaitan dengan lingkungan sekularisme. Lingkungan yang dimana
hukum merupakan nota kesepakatan bersama yang diproduk melalui konstitusi
(Matta, 2002). Sehingga jika terjadi pemaksaan akan nilai-nilai Islam kedalam
Negara, dikhawatirkan akan menyulut kembali pertikaian lama yang “kontra produktif”
tentang konsep Negara.
Sekularisme di ujung tanduk
Mungkin sampai saat ini masih banyak yang bertanya, apa keuntungan dari
gerakan post-Islamis terhadap perkembangan dunia Islam? Mengingat post-Islam
seakan-akan terkurung dalam bingkai sekularisme. Bahkan kesannya menafikan
hukum agama dalam mengatur urusan pemerintahan. Bagi penulis pertanyaan kritis
semacam ini memang sangat perlu diajukan untuk menguji kelayakan gerakan
post-Islam.
Sangat tidak tepat sebenarnya jika mengatakan bahwa gerakan post-Islam
disandera oleh sekularisme. Karena kenyataan yang terjadi, sekularisme lah yang
tersandera oleh post-Islam. Seperti menurut Munandar (2011), gerakan post-Islam
memang seringkali mengambil langkah-langkah pragmatis, namun tanpa keluar dari
bingkai idealismenya. Sebagai contoh adalah gerakan post-Islam di turki yang
berhasil menyandera pengertian sekularisme koersif yang dikawal oleh militer,
menjadi sekularisme yang aman terhadap agama (Assyaukanie, 2011). Sehingga AKP
sampai saat ini tidak bisa diutak-atik oleh para kemalisme.
Dengan demikian, sangat Nampak jika sekularisme klasik sudah berada diujung
tanduk dan siap digantikan oleh sekularisme “plus” yang masih lebih ramah
terhadap gerakan Islamisme. Selain menyingkirkan makna dari sekularisme klasik,
gerakan post-Islam yang memanfaatkan demokrasi sebenarnya sedang membangun
peradaban Islam yang kokoh. Detailnya seperti apa?
Menurut Muhtadi (2011), stabilitas demokrasi ditentukan oleh dua unsur yang
sekilas tampak kontradiktif. Pertama, unsur ‘aktif’ yang
merekomendasikan adanya partisipasi politik warga dan keterlibatan politis (political
engagement). Kedua, unsur ‘pasif’ yang meniscayakan adanya budaya
politik yang toleran secara politik dan sikap percaya antarwarga (interpersonal
trust).
Kombinasi apik dua unsur aktivisme dan pasifisme demokrasi ini, menurut
Almond dan Verba (1963), akan membentuk kultur politik yang moderat yang akan
memberikan garansi bagi terkonsolidasinya sebuah rezim demokrasi. Teori inilah
yang menjadikan AKP di Turki sangat kuat, karena rezim demokrasi yang dipegang
oleh kaum Reformis Islam telah mengalahkan kedigdayaan kemalisme.
Dan pertanyaan berikutnya, apakah gerakan post-Islam akan berubah kembali
menjadi Islamisme ketika masyarakat memutuskan untuk memberikan dukungan penuh
dalam electoral terhadap gerakan Islam? Wallahu’alam
Daftar Pustaka
Abshar, Ulil. 2011. Revolusi Post-Islamis di Dunia Islam. Makalah
Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta.
Assyaukanie, Luthfi. 2011. Pembaruan Agama dan Sekularisasi dalam Islam.
Makalah Komunitas Salihara, Jakarta: 9 hal. Tidak dipublikasikan
Chrisnandi, Yuddy. 2010. Strategi kebangsaan Satrio Piningit 2014.
Ind Hill Co. Jakarta. 238 hal
‘Imarah, Muhammad. 1998. Perang Terminologi Islam versus Barat. Robbani press. Jakarta. 302 hal
Matta, Anis. 2002. Menikmati Demokrasi. Pustaka Saksi. Jakarta. 187 hal
Muhtadi, Burhanuddin. 2011. Demokrasi Zonder Toleransi Potret Islam
Pasca Orde Baru. Makalah Komunitas Salihara, Jakarta: 13 hal. Tidak
dipublikasikan
Muhtadi, burhanuddin. 2012. Dilema PKS Suara dan Syariah. KPG.
Jakarta. 307 hal
Munandar, Arif. 2011. Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus
Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca
Pemilu 2004. Disertasi Pascasarjana UI, Depok: 45
hal. Tidak dipublikasikan
Selengkapnya...