Download

Minggu, 15 Desember 2013

DAUN TERAKHIR DI TAHUN 1962

Surabaya, 1920

HOS Cokroaminoto bersama soekarno dan kartosoewiryo
“Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Ucap Musso dengan tegas kepada dua juniornya, Soekarno dan Kartosoewiryo. Soekarno saat itu benar-benar terbius dengan kata sang senior, bagaimana tidak, kalimat itu di ucapkan oleh Musso dengan nada berapi-api dan dengan Bahasa tubuh yang luar biasa. “Mas Karto, Mas Musso kalau berbicara kayak orang mau berkelahi saja, suaranya lantang dan lengan kemejanya sampai ikut-ikutan diangkatnya” bisik soekarno kepada kartosoewiryo. “Memang harus seperti itu kus, ingat kata guru kita, Pak Cokroaminoto, jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan Bicaralah seperti orator” ujar Kartosoewiryo. Melihat percakapan yang hangat antar sesama muridnya itu membuat HOS Cokroaminoto ikut tersenyum. Seperti inilah hari-hari luar biasa yang selalu terjadi di rumah HOS Cokroaminoto di Jl. Peneleh VII Surabaya.

Matahari secara perlahan mulai tenggelam, langit-langit sore yang jingga berubah menjadi pucat. Sepucat dan sewas-was soekarno di sore yang tanggung kala itu. “Mas Karto aku lagi verliefd (jatuh cinta), sama noni Belanda”, ucap soekarno yang sedang bercermin sembari merapikan rambut gaya klimisnya. Mendengar pernyataan soekarno, kartosoewiryo tertawa. Hermen Kartowisastro yang kebetulan ada dikamar itu angkat bicara, “No, kau jangan sembunyi, lamar cewek itu”. Mendengar ledekan Herman, soekarno berbicara dalam hati, “Bukan Soekarno namanya jika tidak bertindak, aku akan melamar Mien pujaan hatiku”. Soekarno mantap, dia simpan sisir didepan kaca, dia rapikan kembali penampilannya sore itu, berbekal kuatnya rasa cinta dan sepucuk bunga mawar yang dipetiknya dari kebun Ibu Cokroaminoto, soekarno keluar dari kamar kartosoewiryo dengan percaya diri.

Sore berganti dengan malam dan soekarno layaknya langit tak berbintang di malam itu, rona cerah yang di pancarkan wajahnya sore tadi berubah menjadi lebih gelap. Dari sorot matanya, terlihat api yang sedang berkobar dengan hebatnya. Jelas ini bukan hanya sekedar luka seorang pemuda yang lamaran sucinya ditolak oleh calon mertua. Alasan kemarahan soekarno pasti jauh lebih besar dari sekedar perkara hatinya. Gambaran itu yang ditangkap oleh Kartosoewiryo yang ikut sedih melihat soekarno. “Kus, ayo kita nyari warteg, kita makan dulu”. Tawaran kartosoewiryo disambut oleh soekarno. Dengan berboncengan sepeda mereka pergi mencari makan.

“Kamu?! Inlander kotor seperti kamu? Kenapa kamu berani-berani mendekati anakku?! Keluar kamu binatang kotor. Keluar!!!” kata soekarno menirukan kata-kata yang keluar dari mulut Bapak Mien Hessels sore tadi. Kartosowiryo yang mengendarai sepeda hanya diam dan menyimak perkataan sahabatnya itu. “Kita Tuan di negerinya sendiri. Belanda-belanda itu Cuma numpang. Kita harus tegak berdiri melawan belanda-Belanda itu” lanjut soekarno yang selama perjalanan sumpah serapah atas perlakuan manusia-manusia Belanda terhadap dia dan negerinya. “Nekad kamu kus, kau bukan anak bupati, berani-beraninya ngelamar cewek Belanda” Ujar Kartosowiryo sembari senyum mengejek kepada Soekarno. jalan-jalan  kota terlihat samar, obor-obor yang disimpan didepan rumah warga tak mampu menerangi Surabaya yang malam itu diselimuti gelapnya hati pemuda yang patah cintanya.

Akhir Musim gugur, 1962

“Pak, kenapa operasi militer kita kali ini dinamakan operasi Barathayuda?” ucap seorang pasukan TNI kepada atasannya. Mendengar pertanyaan pasukannya itu sang komandan mengarahkan pandangannya kepada Kartosowiryo. Dia pandangi wajah laki-laki yang sudah tua renta dan payah itu. Hingga akhirnya mata sang komandan dan kartosoewiryo bertemu. Sang komandang mendadak sadar, dia saat ini sedang tidak berhadapan dengan orang tua yang sudah payah, tapi saat ini dia sedang berhadapan dengan seorang Laki-laki kharismatik yang punya sejarah besar di negeri ini.

“Kau ingin tau kenapa operasi ini bernama Baratayudha?” Tanya sang komandan kepada si prajurit. Dan si prajurit memanggutkan kepalannya sebagai tanda ingin tau. “perang Bharatayudha adalah perang antaradua kelompok bersaudara, Pandawa dan Kurawa. Mereka sama-sama keturunan Bharata. Sama seperti Pemimpin kita Bung Karno dan Kartosoewiryo. Meraka sama-sama para pejuang kemerdekaan atas negeri ini, bahkan mereka sama-sama dididik oleh guru yang sama HOS Cokroaminoto”, ujar sang komandan sembari bergerak mundur menyenderkan punggungnya ke dinding. “mereka sahabat kecil?”, Tanya si prajurit. “Tidak, mereka bukan hanya bersahabat, lebih dari itu, mereka sudah seperti saudara” jawab sang komandan seraya mengambil secarik surat dari dalam sakunya. Surat yang menjadi penentu dari lamanya persahabatan soekarno dan kartosoewiryo di dunia.

Detak demi detak jarum jam benar-benar sangat mengusik pikiran Soekarno. Pria yang sudah tidak bisa dikatan muda ini mengalami kegelisahan yang sangat. Megawati Soekarno Putri yang khusus datang dari Bandung ke Jakarta berusaha meyakinkan Ayahnya, Mega berusaha menyadarkan sang ayah, agar menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan serta tidak mencampur-adukkan antara hakikat persahabatan dengan tugas dan fungsinya sebagai kepala negara. Soekarno terdiam cukup lama, dia pandangi foto sahabatnya kartosoewiryo.

Soekarno mendadak gemetar. tiba-tiba teringat dengan betapa hangatnya suasana rumah sang guru HOS Cokroaminoto di sekitar tahun 1920-an. Seketika sang guru hadir dibayangannya. Soekarno terdiam, lama dia menatap sosok sang guru. Dan mulailah bibir sang presiden berucap, “ kau tau guru, aku sangat bingung atas semua yang terjadi dianatara kita, aku telah kau didik, tetapi aku tak bisa menjaga amanatmu atas Oetari anak sulungmu yang menjadi istri pertamaku. Aku bingung guru, Musso yang telah ku anggap guru setalah mu pun harus aku eksekusi atas apa yang dilakukan kepadaku ditahun 1948. Aku harus mengeksekusinya karena dia sangat egois atas ideologinya. Dan sekarang guru, apa yang harus aku lakukan pada sahabatku Kartosoewiryo?, diapun kini membrontak padaku guru…”. Soekarno terdiam, kedua tangannya kaku, tangan kanannya lemas memegang pena dan tangan kirinya keras memegang foto kartosoewiryo.

Pagi itu, dipulau Ubi, bertepatan dengan tanggal 5 September 1962. Detuman senjata terdengar keras di seluruh pulau. Burung-burung terkejut dan berterbangan ke angkasa dan daun-daun jati gugur ke tanah di musim gugur kala itu. dau-daun jati tidak selamanya akan berada di pohon, sebuah keniscayaan mereka akan gugur, lepas dari kehidupan rindang pohon. Daun-daun jati yang gugur bukanlah pertanda akan matinya kehidupan. Daun-daun jati gugur adalah tanda bahwa pohon jati sedang berikhtiar mempertahankan hidupnya. Daun-daun jati yang gugur ketanah akan menghambat air menguap, sehingga jati akan tetap tumbuh hingga musim semi itu tiba.

Win Ariga
Malang, 16 Desember 2013
Selengkapnya...