Download

Sabtu, 03 April 2010

kesadaran sosial

“segala kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu sendiri tidak memerlukan hal itu, karena dia lah yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku” (Paul Natrop)

Kasus 1:
“kawan, sebenarnya apasih yang sedang kita perjuangkan?” mendengar pertanyaan dari kawanku ini membuat diriku kaget. Padahal sosok orang yang bertanya padaku ini adalah salah seorang pimpinan mahasiswa di kampus ku. Seseorang yang mungkin dikatakan sebagai mahasiswa ideolog oleh mahasiswa lainnya. Tapi entah kenapa beliau bertanya akan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu di tanyakan.

Kasus 2:
Di tengah pusaran mahasiswa yang demonstrasi terkait century, ada seorang adik tingkatku yang bertanya. “mas, sebenarnya ada masalah apasih dengan century? Kenapa kok kita harus demonstrasi?” aku diam mendengar pertanyaannya. “turunkan boediono dan sri mulyani!!!”, “turunkan!!!” teriak adik tingkatku tadi menyambut seruan dari salah satu agitator aksi. Aku heran sambil memandang adik tingkatku tadi dan ke semua orang yang ada di pusaran demonstrasi. “apakah mereka semua tau dengan apa yang mereka tuntut?” tanyaku dalam hati.

Pragmatisme dalam gerakan mahasiswa sepertinya sekarang sedang jadi trend dimana-mana. Gerakan mahasiwa saat ini sepertinya tidak lebih dari sekedar gerakan pencari eksistensi bukan gerakan substansi. Titik keberhasilan dari gerakan mahasiswa tolak ukurnya hanya pada kuantitas turun ke jalan bukan pada substansi yang diserukan. Sehingga berbagai aksi yang dilakukan oleh mahasiswa saat ini sebenarnya tidak terlalu membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat.

Organisasi-organisasi pergerakan mahasiswa pun banyak yang mengalami perubahan fungsi. Dari yang seharusnya menjadi sekolah bagi para penuntut ilmu untuk mendapatkan pendidikan politik malah menjadi lembaga eksploitasi mahasiswa. Dikatakan mengekspolitasi dikarenakan kualitas dari para aktivis yang dikader sangat mengkhawatirkan. Banyak dari kadernya dikader hanya untuk menjadi teknisi-teknisi bukan sebagai pemikir-pemikir. Betul kalau dikatakan pemikir juga teknisi dan teknisi juga harus jadi pemikir, tapi beda permasalahnnya kalau seandainya teknisi yang dicetak tidak memiliki kapasitas sebagai pemikir. Kalau menurut (Habermas) “proses-proses sosiopolitik jangan selalu beranyamkan ‘praksis kerja’ tapi juga ‘praksis komunikasi’.

Kader-kader tereksploitasi sebenarnya jumlahnya lebih banyak ketimbang kader yang berani untuk berpikir sendiri. Ini dibuktikan dengan sedikitnya kader yang paham akan permasalah negeri, tapi mereka ikut dalam aksi-aksi perlawanan. Sangat disayangkan sebenarnya dengan aksi-aksi kosong semacam ini (aksi demi eksistensi). Sehingga wajarlah apabila suara yang keluar dari para demonstran tidak akan sampai pada telinga rakyat yang terdzolimi dan mereka yang mendzolimi rakyat!

Harus ada gerakan reformasi sebenarnya di dalam tubuh organisasi-organisasi kemahasiswaan. Baik yang intra maupun ekstra kampus, harus mampu menjembatani publik mahasiswa untuk dapat mengakses isu dengan sangat luas. Kalau seandainya malah kader sendiri yang tidak tertarik, organisasi pergerakan lah yang seharusnya lebih dapat aktif untuk memberikan berbagai stimulus-stimulus pada kader, minimal dengan transfer isu via media (facebook, Koran kampus, dll). Jangan malah menjadikan media sebagai publikasi terkait eksistensi dari organisasi. Hal-hal tersebut sangat tidak substansi. Karena dikhawatirkan hanya akan menambah rasa euphoria dari kader akan history, sehingga terlewatlah rasa kritis.

Sudah seharusnya organisasi kemahasiswaan menjadi sekolah pemikir pekerja, atau sekolahnya “pekerja kreatif” menurut marx, atau qiyadah wa jundyah menurut tarbiyah. Diharapkan nantinya semua mahasiswa mampu berpikir bebas, merdeka dan kritis akan persoalan-persoalan bangsa. Sehingga ruh demonstrasi-demonstrasi nantinya kedepan bukanlah karena instruksi-instruksi dari pimpinan, tetapi lebih karena panggilan hati…

“bukan persoalan seberapa kuat benda diyakini. Kekuatan keyakinan bukan pada kriteria kebenaran. Tetapi apa itu kebenaran? Mungkin sebentuk keyakinan yang telah menjadi kondisi hidup?” (Nietzsche)

Cuma pengen nulis…Bumi Arema, 31 Maret 2010.

Tidak ada komentar: