Download

Minggu, 10 Juli 2011

POLA GERAKAN KULTURAL-STRUKTURAL ISLAM

Menurut Alamarhum KH. Abdurahman wahid, gerakan islam cultural titik tekannya adalah pada terbentuknya masyarakat islami, bukan pada formalisasi islam dalam bentuk Negara. Atau dengan kata lain, gerakan cultural merupakan sebuah pandangan yang lebih menekankan pada substansi bukan formalisasi [1]. Sehingga, wajar jika penganut faham ini menafikan adanya islam politik (gerakan structural). Saking tidak senagnya dengan islam politik, Almarhum Dr. Nurcholis madjit, yang juga merupakan salah satu tokoh yang sepakat dengan gerakan cultural sempat membuat jargon yang cukup nge-trend di tahun 80-an. Yakni, Islam Yes, Partai Islam No![2].

Berbeda dengan gerakan islam cultural, gerakan islam structural merupakan gerakan yang tidak dapat memisahkan antara islam dengan institusi Negara. Menurut Imam Hasan al-banna dalam usul isyrin asas pertama menyatakan bahwa islam adalah menyeluruh, mencakup semua bidang hidup; islam adalah Negara dan watan atau pemerintah dan ummat [3]. Dalam aplikasinya di masyarakat, gerakan structural biasanya akan berwujud sebagai lembaga-lembaga politik. Contoh Negara islam yang biasanya dijadikan contoh bagi kelompok gerakan structural adalah pemerintahan Negara madinah di jaman Rosulullah SAW. karena negara madinah yang mengusung islam sebagai konstitusi Negara terbukti dapat menciptakan masyarakat yang sejahtera.

Perbedaan dua pola pergerakan ini sebenarnya bukan sebuah musibah bagi masyarakat islam, tetapi malah seharusnya di apresiasi sebagai sebuah khasnah. Paling tidak kita menemukan sebuah titik temu pada kedua pola ini, yakni sama-sama menginginkan islam mewarnai kehidupan bermasyarakat. Gerakan cultural titik tekannya ada pada substansi islam, sedangkan islam structural pada formalisasi islam. Intinya, semua dimulai dan kembali pada islam.

Bagi Anis Matta, Lc yang merupakan seorang tokoh tarbiyah, dalam bukunya dari gerakan ke Negara[4]; secara garis besar menyatakan bahwa, malah seharusnya dua pola gerakan ini (cultural dan structural) tidak didikotomikan. Karena gerakan cultural yang menginginkan terbentuknya masyarakat islami implikasinya seharusnya adalah pada terbentuknya tatanan Negara yang islami (gerakan structural). Karena individu yang islami pasti nantinya akan dapat mentransformasikan nilai-nilai ke-islam-an yang dimilikinya dalam bentuk kinerja.

Dikotomi antara gerakan dakwah cultural dan dakwah structural ujung-ujungnya adalah kegagalan dakwah. Karena memang seharusnya dua pola ini bisa saling melengkapi. Bayangkan jika gerakan islam yang cultural tanpa melibatkan orang-orang yang berada pada structural negara?; gerakan dakwah pasti akan sangat lemah dan rentan untuk di dzolimi. Sebagai contoh seperti masa orde baru. masyarakat islami pada masa itu sangat sulit sekali untuk terwujud. karena pemerintahan dictator soeharto benar-benar mempersulit para da’i untuk berdakwah.

Sedangkan gerakan dakwah structural tanpa ada support dari basis cultural pastinya akan menghasilakn pemerintahan yang sangat lemah dan rentan konflik. Karena masyarakat tidak siap untuk merevolusi budaya yang sebelumnya tidak islami menjadi harus islami. wajar saja sebenarnya jika masyarakat saat ini ketakutan bila Negara Indonesia bercorak islam. Betapa tidak, karena memang masyarakat kita belum dikatakan islami. Sehingga kesan dari semua produk-produk hokum adalah memaksa dan memberatkan.

Tidak ada komentar: