Download

Minggu, 16 Mei 2010

KETIKA PENDIDIKAN HANYA DINILAI DENGAN ANGKA-ANGKA

Hari ini benar-benar menyedihkan. Aku tidal lulus ujian nasional. Nilaiku jeblok di mata pelajaran matematika dan bahasa Indonesia. Padahal untuk nilai fisika aku tertinggi di sekolahku. Aku heran, kenapa nasibku hanya ditentukan oleh lembar jawaban saat ujian nasional? Padahal saat ujian aku sedang terkena flu. Hidungku mampet. Sehingga tidak mampu berkonsentrasi secara maksimal. Coba ujian saat itu tidak saat aku terkena flu, pasti semua soal dapat kujawab dengan baik. Aku benar-benar merasa di dzolimi. Kemampuan berbahasa Indonesia sebenarnya sangat baik dan kemampuan berhitung ku pun cukup baik. Buktinya aku bisa lulus fisika dengan nilai terbaik.

Dan apakah salah kalau saya tidak suka mata pelajaran kimia dan bahasa indonesia? Dan apakah saya juga salah kalau saya hanya mencintai fisika? Aku selalu bingung dengan sistem ujian nasional. Sangat tidak adil menurutku. Kenapa semua matapelajaran distandarisasi dengan sama? Kenapa kami dituntut harus memiliki nilai minimal 5? Berarti nilai minimal ujianku harus: bahasa indonesia: 5; matematika: 5; fisika: 5; kimia: 5; dan semuanya 5. apakah tidak boleh kalau nilaiku seperti ini: bahasa Indonesia: 3; matematika: 6; fisika: 10; dan kimia: 5? Padahal kalau einstein melihat nilai fisika ku (10) pasti beliau tidak akan segan memasukan ku di perguran tinggi miliknya.

Nasibku memang sial. Tapi mungkin tidak sesial temanku si fulan. Dia terkenal sebagai duta sekolah. Kemana-mana selalu membawa nama harum sekolah. Saat dia masih duduk di kelas satu, ada 3 medali dan 3 piala yang dia raih dari berbagai kejuaraan antar sekolah. Saat duduk di bangku kelas tiga dia kembali mengharumkan nama sekolah, dia memenangkan kontes robot cerdas tingkat nasional. Sehingga tak salah bila dia ditawari beasiswa dari berbagai universitas ternama di Indonesia. Tapi sayang. Dia tidak lulus di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Mengherankan sekali, padahal dia sangat lihai berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Dan kalau tidak salah si fulan adalah Kabid Humas di OSIS. Kemampuan berbahasa Indonesianya di atas rata-rata. Melihat hasil ujian kemarin dia sangat terpukul. Seharian ini aku lihat dia hanya memandangi medali-medali dan piala-piala yang pernah dia raih yang diletakan di lemari ruang OSIS.

Nasib sial lain dialami oleh saudariku si fulanah. Dia merupakan salah seorang pimpinan rohis di sekolahku. Berbicara masalah budi pekerti, dia tidak tertandingi menurutku. Orangnya pengertian dan sangat santun. Kalau menurut ku dia adalah cerminan buku kewarganegaraan atau PPkN. Sehingga wajar apabila semua orang sangat hormat pada si fulanah, bahkan para guru sekalipun. Tapi sayang, nasibnya sama seperti ku dan si fulan. Tidak lulus ujian nasional. Nilai si fulanah anjlok di nilai kewarganegaraan (fulanah anak IPS). Semua orang sangat kaget dengan pengumuman itu. Selidik punya selidik, ternyata kegagalan fulanah lebih disebabkan hal teknis. Tangan kanan fulana memiliki sedikit kelainan, tangannya selalu gemetar. Sehingga saat melingkari jawaban dengan pensil sangat belepotan. Yang jadi permasalahan bagiku, kehidupan fulanah yang merupakan cerminana dari buku kewarganegaraan, tapi kenapa hanya karena dia gagal di ujian tulis kewarganegaraan dia dinyatakan sebagai siswa yang bodoh akan kehidupan ber-kewarganegaraan? Aneh...

Sebenarnya aku sedih dan juga kesal. Sedih karena melihat banyak orang hebat banyak yang gagal di ujian nasional, dan kesal karena melihat mereka yang suka buat onar lulus ujian nasional. Bayangkan, mereka yang tidak pernah berprestasi, tidak punya budipekerti dan selalu membuat onar dapat penghargaan berupa kelulusan. Padahal saat ujian nasional, mereka menjawab pertanyaan hanya dengan mengandalkan feeling. Tak jauh dari main tebak-tebakan belaka. Bener-benar aneh...

Berkaca dari pengumuman ujian nasional tahun ini. Aku mengambil kesimpulan bahwa negara kita tidak akan pernah besar. Karena kita selalu terjebak akan simbol-simbol. Siapa yang tidak lulus maka mereka di cap bodoh dan mereka yang lulus dielu-elukan sebagai calon penerus pemimpin bangsa. Padahal mereka yang lulus belum tentu memiliki prilaku dan moral yang baik. Buktinya, setelah pengumuman kelulusan mereka berjoget-joget kesetanan dengan sambil mencoret-coret baju seragamnya. Setelah itu konvoi di jalan raya tanpa menggunakan helm. Dan jalannya pun ugal-ugalan. Yah, mau seperti apa lagi. Inilah potret kehidupan pelajar Indonesia.


Bumi arema, 27 April 2010

Tidak ada komentar: